HAI MAHASISWA!!!
SETIAP
tanggal 21 Mei mahasiswa merasakan suasana “heroik”. Memang mahasiswalah aktor
paling penting dalam gerakan reformasi sembilan tahun silam. Ke manakah gerakan
mahasiswa pascalengsernya Soeharto?. Saat itu agenda tuntutan reformasi ‘98
adalah menggelar pemilu, hapuskan dwi fungsi ABRI serta adili Soeharto, maka
hari ini yang menjadi target gerakan pascareformasi harus kita perluas.
Sejumlah pekerjaan rumah masih tertumpuk tak karuan. Ekonomi kalang kabut, rakyat
miskin pun tambah banyak. Politik kita masih memperjuangkan kepentingan
kelompok. Hukum pun masih belum memuaskan, Kita (mahasiswa) mesti mengakui
banyak “mimpi-mimpi” kita yang belum tercipta.
Gerakan mahasiswa
pascalengsernya Soeharto mengalami polarisasi. Tak hanya itu saja, gerakan
mahasiswa sudah banyak mengalami disorientasi. Bahkan tak jarang pula mahasiswa
kehilangan ruhnya sebagai agen perubahan sosial atau pengontrol roda
pemerintahan. Melihat realitas dewasa ini masih pantaskah mahasiswa menyandang
gelar ‘pahlawan’ reformasi? Ataukah kita perlu reformasi episode ke-2?
Ida
Nashim melukiskan lemahnya gerakan mahasiswa, yakni:
(1) tidak memiliki
perspektif politik karena tidak mampu untuk menjalin front atau aksi politik
yang strategis.
(2) cenderung mengagungkan mitos agent of change
atau agent of development
(3) sangat
dogmatis dan kaku sehingga tak membedakan antara strategi perjuangan dan taktik
perjuangan
(4) eksklusif dan sektarian, karena merasa diri paling benar
(5)
tidak memiliki organisasi yang kuat karena tidak memiliki pimpinan yang berakar
simpul.
Kemudian,Berdasarkan
hasil riset Deddy Mulyana, ada empat jenis mahasiswa.
-Pertama, mahasiswa akademis, yaitu mahasiswa
yang dalam aktivitasnya hanya mengaksentuasikan diri khusus pada perkuliahan an sich. Kelompok ini tidak akan terlalu peduli dengan
gejolak yang sedang terjadi karena menurutnya tugas mahasiswa hanyalah belajar.
-Kedua, mahasiswa politis/aktivis. Yang
termasuk kelompok ini adalah mahasiswa yang fokus primernya bukan hanya
belajar, tetapi ketimpangan sosial, korupsi, ketidakadilan pun turut menjadi
media pembelajarannya. Kelompok ini menganggap tugas mahasiswa tidak hanya
belajar, tetapi lebih dari itu memiliki tugas sebagai “manusia setengah dewa”
juga.
-Ketiga, mahasiswa vokasional. Mahasiswa yang
termasuk dalam jenis ini lebih “mengkhusukan” dirinya pada bagaimana mencari
keuntungan ekonomis belaka. Bagi mereka mengisi isi perut lebih baik ketimbang
harus berteriak hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!
-Keempat, mahasiswa kolega. Mahasiswa yang mindset-nya lebih banyak berisi perintah-perintah untuk
memperbanyak teman, paca,r dan bentuk-bentuk kekerabatan lainnya. Ritualitas
hedonis dan konsumtif telah mendarah daging dalam hidupnya.
Saya
berasumsi, hanya mahasiswa kategori aktivislah yang sedikit lebih baik
ketimbang jenis mahasiswa lainnya selama dia bisa menjalankan fungsi-fungsinya
sebagai kaum pembelajar sekaligus sebagai komunitas pergerakan dalam menyikapi
problematika masyarakat maupun kebangsaan. Kenapa demikian? Karena peran
mahasiswa sebagai seorang intelektual tidak boleh hanya textbook thinking, meski pengaruh lembaga pendidikan yang
menaunginya serta mengelola pendidikan dengan gaya manajemen perusahaan, di
mana materi pendidikan menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Pendidikan semacam
ini hanya akan menghasilkan generasi bebal. Adapun ciri pokok orang bebal
tersebut adalah :
(1) dia tidak mampu menganalisis masalah
(2) jika diberitahu
kepadanya, dia tidak bisa mencari solusinya
(3) dia tidak mampu mempelajari
seni belajar
(4) dia biasanya tidak mau mengakui kepandirannya.
Kemudian bukan
berarti mahasiswa kaum pergerakan (aktivis) tidak memiliki kelemahan sama
sekali. Masalah umum yang sering menerpa para aktivis ini adalah mereka sering
kali merasa diri paling hebat yang pada akhirnya mendorong mereka pada
anarkisme-vandalisme.
Akhirnya saya
berpendapat bahwa, gerakan mahasiswa ada 4 corak:
(1) gerakan intelektual yang
mengaksentuasikan pada kemampuan nalar mahasiswa untuk bisa melakukan
propaganda guna tercapainya agenda perjuangan.
(2) gerakan sturuktural, gerakan
ini menempuh jalur “kekuasan” sebagai media untuk mensukseskan gagasan-gagasan
lewat “birokrasi-kekuasaan”.
(3) gerakan kultural, upaya yang dilakukan dalam
gerakan ini adalah mengidentifikasikan diri pada kebiasan-kebiasan yang
dilakukan masyarakat dengan sedikit menyelipkan pesan-pesan perjuangan.
(4)
gerakan turun ke jalan atau demonstrasi, di mana hal ini sebaiknya menjadi
alternatif terakhir. Bukan malah sebaliknya. Karena fakta berbicara bahwa hari
ini efektivitas demo sudah tidak “menggigit” lagi, tetapi tidak lebih dari
sekadar show of force saja. Yang pada akhirnya
hasil yang didapat tidak dari lebih sekadar membuat jalan macet dan menjadi
sumber berita para ‘buruh tulis’ wartawan.
Saya mengajak mahasiswa untuk melakukan upaya-upaya tranformasi demi terciptanya
tatanan negeri ini yang lebih baik. Karena lengsernya Soeharto ternyata bukan
garansi bangsa ini lebih baik. Watak dan mental-mental Orba masih tetap
berkeliaran atau dengan kata lain Neo-Orba masih ada. Dengan tekad bulat
mengedepankan rasionalitas bukan emosionalitas, persaudaraan bukan permusuhan,
idealisme bukan pragmatisme. Kita bisa tetap konsisten mengawal arah agenda
reformasi seraya berteriak lantang untuk menolak lahirnya kembali rezim
otoriter dan pro-status quo dalam bentuk baru di
bumi pertiwi ini.
Itulah pemandangan yang saat ini memang terjadi dikalangan mahasiswa, menurut saya, Oleh karena itu mari bersama-sama putihkan dan upgrade kembali gerakan dan tujuan kita sebagai mahasiswa dengan berprinsip pada tri dharma perguruan tinggi
Referensi
: google.com (reformasi gerakan mahasiswa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar